Tidak
ada yang lebih menyakitkan saat sepupu saya masuk fakultas pertanian dan semua
orang bertanya ‘kenapa?’. Menjadi ‘petani’ tidak lagi menjadi superhero di
Indonesia, bukan bidang yang wah, bukan pekerjaan yang bergengsi. Akan tetapi
apakah benar demikian?
Sarjana
IT, hukum dan lulusan yang katanya bergengsi lainnya toh mereka butuh sekali
dengan petani. Mereka setiap hari makan dari hasil pertanian. Jadi sebenarnya
pekerjaan paling bergengsi adalah petani, karena dari petanilah dokter bisa
menyembuhkan pasiennya, pengacara bisa memenangkan kasusnya.
Saya
selalu iri dengan hasil pertanian di luar negeri, kita semua tahu, bahwa
swasembada beras itu seperti hanya kenangan indah untuk Indonesia. Import beras
masih menjadi isu utama, belum lagi import-import lainnya. Bahkan saat memakan
sepotong tempe goreng, berasa ini produk luar negeri, karena kedelai sebagai
bahan utamanya masih merupakan barang import.
Semua
pasti hapal dengan sebuah syair “tongkat dan kayu pun jadi tanaman” ya
indonesia adalah Negara yang super subur. Kita trying too hard untuk menanam sesuatu, tapi mungkin karena itu,
kita jadi sama sekali tidak mencoba memperbaiki apa yang ada.
Tuhan
menganugerahkan Indonesia dengan hamparan tanah subur yang luas dan iklim yang
mendukung. Tanah subur di jawa adalah tempat yang cocok untuk tanaman padi, tanah
yang kering di flores cocok sekali untuk aneka jenis jagung dan tanah-tanah
dipapua adalah tempat sempurna untuk pohon sagu.
Tuhan
memberi anugerah yang besar pada Indonesia untuk mengolah lahannya. Jadi kenapa
masih menganggap remeh mereka yang masuk falkultas pertanian, atau anak-anak
yang bercita-cita jadi petani.
Kalau
ada yang bertanya, jadi apa yang salah dengan pertanian di Indonesia, kenapa
masih saja import hasil pertanian? Mungkin karena kita tidak bangga pada
petani.
Kemarin
saya berkesempatan hadir dalam Media Talk "Memajukan Pertanian
Berkelanjutan untuk Wujudkan Hak Atas Pangan", diselenggarakan pada 30
Okt'16 oleh FAA PPMI (Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa
Indonesia).
Pemateri
yang hadir sangat berkompeten dibidangnya
Pertama
adalah Tjuk Eko Hari Basuki, Kepala
Pusat Ketersediaan Kerawanan Pangan Kementrian Pertanian, menyampaikan " Ketahanan pangan adalah ketahanan
negara, pangan bukan sekadar makanan tapi keberlangsungan hidup manusia"
Kedua adalah Nur
Adyanto Direktorat Pangan dan Pertanian dari
Bappenas membahas tema "Pertanian
dari sisi produksi.
Ketiga adalah Dini Widiastuti, selaku Direktur
Program Pangan dan Perempuan OXFAM.
Keempat Khudori, selaku Pengamat
Pangan dan Pertanian dari FAA PPMI (Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers
Mahasiswa Indonesia) sebagai pembicara keempat menyampaikan,"Seiring pertumbuhan Penduduk, juga
dibarengi dengan penambahan kelas menegah yang membutuhkan pangan berkualitas".
Kelima dan terakhir adalah Dea Ananda public
figure yang bicara dari sisi konsumen.
Jika
petani berhenti menanam? Lalu kita akan makan apa? Kecuali manusia sudah bisa
memasak dari batu dan tanah.
Isu
pertanian berkelanjutan adalah isu yang penting karena ini menjamin ketahanan
pangan indonesia dan hak sepenuhnya rakyat.
Pada
kesempatan ini pak Tjuk Eko Hari Basuki memaparkan pandangannya mengenai pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak
imbang dengan jumlah makanan yang tersedia. Apalagi dewasa ini jenis makanan
semakin sempit, sebut saja di Negara asia Beras menjadi komoditi utama, di
eropa masyarakatnya gemar mengonsumsi gandum, di afrika aneka jagung dan lain
sebagainya. Differnsasi makanan
semakin berkurang. Hal ini memicu masyarakat untuk lebih maju.
Salah satu kesalahan masa lalu adalah memaksa
masyarakat untuk seragam, dimana nasi menjadi makanan pokok. Padahal Indonesia
sangat luas, tiap daerah punya potensi masing-masing dalam pengembangnya.
"Memayu
hayuning Bawono"
Memberi
ruang hidup untuk semua. Ilmu Pranoto mongso, sebagai panduan
jadwal menanam tanaman yang berbeda. Ada masanya menanam padi, ada masa menanam
tanaman lainnya sesuai dengan musimnya. Ini membuat regulasi tanah berjalan
baik, tanah semakin subur alami.
Pak
Nur Adyanto dalam penjelasannya memperkirakan
terjadi peningkatan jumlah penduduk yang tidak di imbangi dengan jumlah makanan
segar yang tersedia. Kalau tidak bisa mengikuti, hak atas pangan untuk
kedaulatan pangan sulit tercapai. Pasar yang besar, akan dikuasai produsen
negara lain. Aspek terpenting adalah ketersediaan lahan pertanian, harus
menjadi concern. Arah Pembangunan jangka panjang, dijabarkan dalam jangka
menengah Presiden saat ini diteruskan presiden berikutnya.
Rencana
pembangunan Jangka Menengah, adalah Kedaulatan Pangan dengan meningkatkan
produksi dalam Negri. Menjaga Stabilitias harga pangan, perbaikan
kualitas konsusmi pangan dan mengatasi gangguan serta isu perubahan iklim.
Membangun
keberlangsungan kedepan, dari budidaya pertanian dengan menggeser pengunaan
pupuk kimiawi ke pupuk organik serta management sumber daya air.
Dari
sisi ekonomi, pertanian bisa kompetitif dan profitable, sustainable. Kalau
pertanian dibiarkan begini saja, beban pemerintah memberi subsidi akan besar.
Ibu
Dini Widiastuti, selaku Direktur Program Pangan dan Perempuan OXFAM,
OXFAM
adalah LSM international yang bekerja lebih 90 negara, mencoba memberi masukan
untuk pemerintah, mencoba mempengaruhi kebijakan perusahaan. Meningkatkan
kapasitas produktifitas dan income produsen pangan, termasuk perempuan di
dalamnya."
Masalah
pertanian tidak hanya masalah lahan, akan tetapi juga akses terhadap sumber
produksi yang lain. Misalnya akses terhadap pupuk, akses terhadap perlatan
pertanian,tetapi juga akses terhadap peningkatan kapasitas atau teknik
pertanian.
Perlunya
kesempatan kepada perempuan dalam mengambil keputusan, perempuan perlu dilibatkan
dalam pengerjaan lahan pertanian.
Blogger
dalam hal ini di ajak untuk menyebarkan semangat mengkonsumsi pangan lokal. Dan
perlunya kesetaraan gender dalam lingkungan pertanian. Dimana perempuan juga
terlibat aktiv dalam pertanian.
Pak Khudori menyampaikan Sumbangan terbesar
produksi pangan saat ini, berasal dari luas panen bukan kualitas panen.
Sebagian besar petani kita masih petani gurem, tidak bisa menjadi penopang
hidup. Petani desa susah sekali berinovasi, sepertiga petani sudah tua
diatas 54 tahun. Sehingga kurang bisa mengikuti perubahan, termasuk perubahan
iklim yang luar biasa.
Musim
kering datang 40 hari lebih cepat, musim hujan datang 40 hari lebih lambat. Hal
ini tentu menjadi persoalan buat petani, akan mempersulit merencanakan pola
tanam. Praktek pertanian terkendala, dalam berproduksi dan menghadapi perubahan
iklim. Subsidi pupuk dilarikan pada pupuk kimia, sehingga tanah kurang pupuk
organic.
Praktek
revolusi dalam 14 tahun, terbukti bisa melipatgandakan produksi padi. Tapi
setelah masa tersebut ada kekecewaan, terjadi keseragaman Mono Culture
di semua praktek budidaya. Ketergantungan paket teknologi import, sehingga
kearifian lokal tergerus. Varietas yang dulu dibudidayakan adaptif terhadap
iklim hilang, degradasi lahan dan lingkungan tak terkendali.
Demi
masa depan pangan, sebaiknya pemerintah tidak lagi melakukan penyeragaman, agar
tren pangan global terintegrasi. Konsentrasi pangan terjadi, Pangan yang
diproduksi, konsumen harus punya daya beli. Untuk menjaga pangan, konsumen
harus punya akses dan daya beli.
Diskusi
ditutup oleh Dea Ananda, dia berkisah selaku konsumen makanan. Cerita Dea
tentang masa kecilnya sungguh inspiratif dan bagaimana hal tersebut membuat
hidupnya semakin lebih baik
Apa yang bisa kita lakukan
Sebagai
blogger saya setuju dengan kampanye yang bertema Talk "Memajukan
Pertanian Berkelanjutan untuk Wujudkan Hak Atas Pangan" hal ini perlu
disebarkan ke masyarakat luas. Selain itu saya juga menjadi petani rumahan. Saya
menanam apa yang saya bisa sedapatnya. Karena walau kecil tapi sangat
bermanfaat.
0 komentar:
Post a Comment